Apa yang dirasakan pembaca pada saat mendengar kata "Hokokai"?
Jujur saja, awalnya ketika saya baru mulai mengenal dunia batik,
"Hokokai" bukanlah salah satu kata yang langsung saya asosiasikan
dengan batik. Tentu batik kawung, mega mendung, parang, dan keraton sangat
akrab di telinga ketika pertama kali mendengarnya. Namun, ada sesuatu yang
terdengar asing dari kata "Hokokai." Jadi, biar tidak bingung seperti
saya, mari kita sama-sama cari tahu asal usul motif ini Bung!
Mari kita mulai dengan mengingat lagi pelajaran sejarah. Kembali
ke era sebelum 1945, Perang Dunia 2, apa yang terjadi di Indonesia saat itu?
Ya, kita sedang keras-kerasnya mengusahakan kemerdekaan kita Bung dari Jepang.
Pendudukan Jepang ketika itu sangat keras. Jepang terkenal dengan propaganda
ideologisnya yang ingin menimbulkan rasa nasionalisme Asia di Indonesia dengan
Jepang sebagai pemimpinnya. Salah satu buah propaganda itu adalah sebuah
organisasi yang bernama Jawa Hokokai. "Hokokai" sendiri adalah
kata dalam bahasa Jepang yang berarti "himpunan pengabdi masyarakat"
yang menunjukkan betapa ideologisnya pendudukan Jepang pada waktu itu.
sumber gambar: http://batikdan.blogspot.co.id/2011/07/batik-jawa-hokokai.html
Tak heran, dengan jargon "pengabdian" kepada sang
kolonis, batik hokokai memiliki nuansa Jepang yang kental. Ketika itu, awalnya
pengusaha khususnya Tionghoa di daerah Pekalongan berusaha mengambil hati
penjajah dengan motif yang sesuai selera mereka. Bunga sakura dan kupu-kupu
mewarnai kain-kain batik hokokai dan menjadi identitas yang disukai orang-orang
Jepang di Indonesia pada waktu itu. Ciri khas lain dari batik tersebut adalah
latar belakang (isen-isen) yang sangat detil dan menggunakan motif
seperti kawung & parang. Selain itu, batik hokokai umumnya memiliki pola pagi
sore yakni satu kain yang berisi 2 motif yang berbeda.
Penggunaan pagi sore memiliki cerita yang agak berbeda. Pasalnya,
pada awalnya, batik hokokai digunakan oleh para anggota Jawa Hokokai dan pada
perkembangannya, batik hokokai itu sendiri banyak digunakan oleh rakyat miskin
Indonesia pada waktu itu. Ternyata, penggunaan motif pagi sore menyebabkan
orang bisa memiliki satu kain dengan dua motif yang kontras, sehingga mereka
bisa "menghemat" pakaian mereka dengan hanya satu kain.
Kisah lain yang memberi kesan paradoks adalah hasil akhir batik
Hokokai itu sendiri. Warna dan pola yang muncul memperlihatkan kegembiraan dan
juga sesuatu yang dibuat dengan hati. Detail pada isen-isen dan juga pada susumoyo
(bingkai) menunjukkan sebuah karya seni tinggi. Padahal pada waktu itu rakyat
Indonesia amatlah menderita dengan pendudukan Jepang yang biarpun hanya tiga
setengah tahun namun berdampak sangat besar pada penderitaan rakyat Indonesia.
sumber gambar:
http://www.tribaltrappings.com/TIJ104.php
Terlepas dari kisah pahit pendudukan Jepang di Indonesia, batik
Hokokai merupakan sebuah pencapaian kultural yang sangat tinggi. Penggabungan
antara motif tradisional Indonesia seperti kawung dan parang dengan aksen
Jepang dalam bunga dan kupu-kupu menjadi sebuah bukti akulturasi di masa
penjajahan Jepang yang cukup singkat. Hal ini menguatkan pendapat bahwa
pendudukan Jepang adalah pendudukan ideologis dibandingkan dengan pendudukan
Belanda yang berat ke eksploitasi ekonomi. Dari sisi kekayaan artistik, tidak
banyak yang bisa menyamai kompleksitas dan keindahan batik Hokokai dengan
penggabungan berbagai motif di dalam satu kain. Iwan Tirta, salah satu penggiat
batik Indonesia memberi predikat sangat gemilang ketika ditanyai pendapatnya
mengenai batik ini, yang dia sebut sebagai "pencapaian."